Abraham Lincolin mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Semua bentuk tindak-tanduk dan
kebijakan pemerintah harus memihak pada kepentingan rakyat. Rakyat
adalah raja dalam panggung demokrasi, begitulah yang diamanatkan
konstitusi negara kita.
Demokrasi di Indonesia telah melalui
perjalanan panjangnya. Reformasi sebagai tonggak demokrasi diagendakan
membangun bangsa yang lebih terbuka, dinamis, makmur dan sejahtera.
Namun ternyata masih jauh dari harapan, pasca reformasi angka kemiskinan
justru semakin meroket tinggi. Tapi perlu diakui, demokrasi yang telah
berjalan sudah berhasil membawa buah tangan kemajuan secara prosedural.
Pemilihan umum berlangsung bebas, transparan, dan demokratis. Pintu
berpendapat dan berserikat juga telah dibuka. Setidaknya lebih baik dari
masa orde baru.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya
pembagian kekuasaan, prinsip trias politica dengan kekuasaan negara
yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan
rakyat. Check and balanced diantara lembaga-lembaga negara juga telah
berlangsung dinamis.
Prinsip semacam trias politica menjadi
sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat
kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu
membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut
pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM). Kasus-kasus HAM berat pun seakan ada rencana untuk menguburnya.
Kasus HAM tinggallah peristiwa dengan peringatan, tanpa ada penuntasan.
Dalihnya, “selalu” tidak ada bukti.
Demikian pula di lembaga
legislatif, kekuasaan berlebihan dipraktekkan dalam menentukan standar
anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan
aspirasi rakyat, dan tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Walhasil,
demokrasi yang dicita-citakan untuk menciptakan kehidupan yang makmur
dan sejahtera. Justru berbalik arah, kesengsaraan semakin diperparah
dengan kebencian rakyat pada para elite politik atas tindakan
semena-menanya.
Bukan Untuk Rakyat
Pascareformasi,
perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sehingga dapat
membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun hingga saat
ini, transisi menuju pemerintahan yang demokratis secara utuh belum
dapat terengkuh. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah
Olle Tornquist hanya menghasilkan demokrasi “Kaum Penjilat”, yang lebih
menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan
rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Dengan demikian, perjuangan para
reformis akhirnya sama sekali tidak berfungsi di tengah-tengah situasi
ketika hampir seluruh elit politik memupus demokrasi.
Demokrasi
tidak memberikan kesejahteraan, tetapi justru kemiskinan. Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat, jumlah masyarakat miskin pada Maret 2012
mencapai 29,12 juta orang atau 11,96% dari total penduduk Indonesia saat
ini. Angka ini turun dibanding Maret 2011 yang mencapai 30,02 juta
orang (12,4%). Tentu jumlah 29,12 juta orang bukanlah angka kecil, terus
puas dan dipamerkan rakyat bahwa mereka telah berhasil. Terkadang,
angka berbeda dengan fakta di lapangan.
Negara demokrasi, rakyat
seharusnya diposisikan sebagai penguasa tertinggi, ironisnya selalu
dipinggirkan. Kondisi buruk dipamerkan elite politik dan aparat penegak
hukum yang menunjukkan aksi-aksi blunder. Banyak tingkah polah para
elite politik yang mencederai perasaan rakyat dan mengandung kegeraman.
Bahkan mantan wakil presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa
demokrasi cuma cara, alat atau proses, bukan tujuan.
Kendati
demokrasi sudah berjalan lama, perilaku para elite politik negeri ini
masih dianggap belum memperjuangkan nasib rakyat sebenar-benarnya.
Demokrasi masih berputar dalam rutinitas pergantian kekuasaan dan
birokrasi administratif. Sementara kesejahteraan rakyat tak kunjung
datang dan masih jauh dari harapan.
Para elite politik sibuk dengan
dirinya sendiri. Kendati didapuk sebagai wakil rakyat, tidak ada
representasi kebijakan yang berpihak pada raja, rakyat yang diwakilinya
itu. Ironis, di tengah keterpurukan rakyat, mereka dengan rasa tanpa
bersalah membagikan mobil mewah Toyota Crown Royal Saloon kepada para
pejabat tinggi dan barisan nama menteri. (M. Abdillah Badri, 2012: 304)
Mungkin
bisa dibenarkan apa tidak, ketika ada orang yang mengatakan, rakyat
benar-benar sudah diwakilkan oleh para wakil rakyat, sudah diwakilkan
jalan-jalan ke luar negeri, sudah diwakilkan naik mobil mewah dan
pesawat. Kesejahteraan rakyat sudah diwakilkan.
Demokrasi negeri
ini bukanlah untuk rajanya, rakyat. Melainkan bagi para wakilnya.
Demokrasi benar-benar telah buntung, kesejahteraan hanya menjamah dari
badan sampai kepala, tidak sampai ekor-ekornya (rakyat). Oleh karena
itu, demokrasi yang disinyalir sebagai gerbang kemajuan dan menciptakan
kesejahteraan ternyata di Indonesia masih belum terbuktikan. Untuk
sekadar mengingatkan pada para elite politik, kita teguhkan kembali
nilai-nilai demokrasi sebagaimana yang diamanatkan UUD 195. Tujuannya
adalah untuk kemakmuran rakyat, bukan golongan tertentu.
Source : okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar