INILAH.COM,
Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Hayono Isman mengungkapkan bahwa
Malaysia masih ngotot untuk merebut pulau Ambalat dari tangan Indonesia.
Tidak
dijelaskan apa indikasi tentang adanya keinginan Malaysia tersebut
serta kapan niat Malaysia itu dihidupkan lagi. Namun pernyataan anggota
parlemen dari Komisi Pertahanan dan Luar Negeri pada Senin 7 Mei 2012
itu cukup mengejutkan sekaligus menyejukkan.
Mengejutkan sebab hal
ini berarti Malaysia tetap punya agenda jahat terhadap Indonesia.
Padahal sejauh ini sesuai indikasi yang diberikan pemerintah RI, negara
tetangga itu sudah tidak punya ambisi lagi merebut salah satu pulau yang
dimiliki Indonesia.
Tidak pernah secara jelas dan tuntas memang.
Tetapi publik Indonesia, sedemikian rupa sudah dibawa ke pemahaman oleh
pemerintahan SBY, bahwa negara tetangga itu, tidak punya niat mencaplok
Ambalat. Menyejukkan sebab untuk pertama kalinya, dalam menghadapi klaim
kepemilikan pulau oleh Malaysia, ternyata masih ada politisi Partai
Demokrat yang berani bersikap.
Menurut Hayono, putera Mas Isman
(almarhum), seorang jenderal pendiri Kosgoro sekaligus cikal bakal
Partai Golkar, kalau Malaysia masih ngotot untuk merebut Ambalat maka
tidak ada pilihan lain bagi Indonesia yaitu harus menghadapinya dengan
cara perang.
Makna pernyataan ini dapat ditafsirkan, di kalangan
politisi pemerintah saat ini akhirnya lahir kesadaran untuk menjadi
bangsa yang tidak ingin martabatnya diinjak-injak oleh Malaysia. Sudah
ada pemahaman bahwa mempertahankan setiap jengkal wilayah Indonesia dari
kemungkinan pengambilalihan oleh pihak asing, merupakan sebuah sikap
yang wajib diambil.
Bangsa Indonesia tidak perlu ikut-ikutan
menjadi orang penakut manakala berhadapan dengan tetangga yang
berperilaku seperti Malaysia. Mengapa persoalan sikap politisi Partai
Demokrat ini menjadi sorotan?
Sejauh ini yang membuat bangsa
Indonesia bersikap mendua bahkan tidak jelas terhadap Malaysia, akibat
dari kebijakan Presiden SBY, petinggi Partai Demokrat. Jenderal Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang nota bene merupakan Panglima Tertinggi
Tentara Nasional Indonesia (TNI), jelas tidak setuju dengan peperangan,
manakala Indonesia harus berhadapan dengan Malaysia.
Pada 31
Agustus 2010, SBY pernah membuat bangsa Indonesia berdebar-debar.
Manakala ketegangan politik antara Indonesia dan Malaysia bereskalasi
akibat berbagai tindakan tidak bersahabat oleh Kualalumpur, SBY memberi
sinyal bahwa ia akan bersikap keras terhadap Malaysia. Rakyat Indonesia
pun menanti.
Ada kesan sikap SBY itu, sangat radikal. Agar
pernyataan sikapnya itu memiliki bobot perang, maka pernyataan itu
disampaikan di forum dimana semua dedengkot TNI tengah berkumpul. SBY
pun memilih Mabes TNI Cilangkap, sebagai tempat dimana ia akan
mengeluarkan pernyataan politik khusus terhadap Malaysia.
Di
hadapan para perwira tinggi baik yang masih aktif maupun yang sudah
pensiun, Presiden SBY secara eksplisit menegaskan bahwa perang antara
Indonesia dan Malaysia harus dihindari. Sebab jika terjadi, akan lebih
merugikan pihak Indonesia.
SBY antara lain merujuk pada sejumlah
investasi perusahaan Malaysia yang ada di Indonesia. Perusahaan itu akan
menarik investasinya dari bumi Nusantara yang pada akhirnya akan
mempengaruhi kehidupan ekonomi dan bisnis Indonesia.
Banyak yang
kecewa atas sikap tokoh Partai Demokrat itu. Sebab pernyataan itu telah
mematikan semangat nasionalisme dan kebanggaan sebagai warga Indonesia.
Tetapi apa mau dikata. SBY merupakan pemegang kunci pintu perang. SBY
yang berhak membuka atau menutup pintu perang.
Pernyataan SBY ini
tak urung membuat dua seniornya Wiranto dan Endriastono Sutarto
(keduanya bekas Panglima TNI) bereaksi secara satire. Bahwa kalau sudah
menyangkut masalah harga diri dan kedaulatan bangsa, maka
hitung-hitungan ekonomi dan bisnis, sudah tidak masuk dalam kalkulasi
lagi.
Yang mengherankan sekalipun SBY sudah dikritik seperti itu,
sikapnya terhadap Malaysia, tidak mengendor dalam arti tetap bersahabat
secara normal. Bahkan pada 16 Oktober 2011, SBY menerima kunjungan Raja
Malaysia. Seakan-akan kedua bangsa tidak punya persoalan. Atau begitulah
seharusnya persahabatan kedua bangsa ditata.
Oleh sebab itu sudah
sangat sepatutnya apabila pernyataan Hayono Isman, anak buah SBY,
tentang ambisi Malaysia tersebut disikapi sekaligus ditindak lanjuti.
Momentum yang ada saat ini, menunjukkan perbuatan Malaysia apakah itu
oleh warga individu maupun pejabat pemerintah, sudah di luar kepatutan.
Terlalu
banyak perbuatan yang tidak menyenangkan oleh warga Malaysia terhadap
Indonesia. Sehingga Indonesia tidak boleh diam. SBY boleh tidur nyenyak
di Cikeas atau salah satu Istana di Jawa dan Bali. Tapi rakyat Indonesia
harus siap berperang seperti Hayono Isman.
Lihat saja bagaimana
sikap Malaysia terhadap dua gembong teroris yang pernah mengganggu
Indonesia, Dr Azahari dan Noordin M Top. Tidak pernah ada pernyataan
maaf atau semacam gesture dari pihak Malaysia. Padahal kegiatan teror
dan terorisme yang mereka lakukan, sangat menghancurkan Indonesia.
RI
dikesankan dunia sebagai negara yang tidak aman. Sejumlah negara Barat
mengeluarkan Travel Warning kepada warganya agar tidak berkunjung ke
Indonesia. Dampaknya bukan hanya kunjungan wisatawan yang anjlok tetapi
minat asing berinvestasi di Indonesia, melorot tajam.
Pertanggung
jawaban Malaysia terhadap penembakan 3 TKI asal NTT yang menyebabkan
mereka tewas dengan peluru tajam, tidak terdengar sama sekali. Data yang
dikumpulkan LSM Migrant Care memperlihatkan, bahwa setiap tahunnya
terdapat 700 TKI yang meninggal di Malaysia. Apa penyebabnya, tidak
pernah diinvestigasi serta diumumkan baik oleh Kualalumpur maupun
Jakarta.
Kedua data dan fakta di atas sebetulnya tidak lagi bisa
dianggap sebagai sebuah "ketelodoran" atau "kesalahan manusiawi".
Melainkan sudah bisa disebut sebagai bagian dari agenda Malaysia
menzolimi Indonesia. Malaysia melakukan Perang Urat Syaraf
(psychological war) yaitu nyawa orang Indonesia, tidak punya harga di
mata bangsa Malaysia.
Sesungguhnya menghadapi Malaysia, tidaklah
sulit. Yang paling penting bangsa Indonesia, mulai dari para penentu
kebijakan hingga rakyat jelata, memiliki kesamaan visi. Apa iya 30 juta
penduduk Malaysia terlalu besar untuk dihadapi oleh 240 juta rakyat
Indonesia?
Dengan adanya 2,5 juta TKI di Malaysia berarti terdapat
jutaan "granat-granat tangan" yang bisa diledakkan di seluruh pemukiman
Malaysia. Kalau dua teroris Malaysia, Dr. Azhari dan Noordin M.Top bisa
mengguncang Indonesia yang berpenduduk 240 juta, lalu mengapa 2,5 juta
TKI tidak bisa membikin panik 30 juta penduduk Malaysia? Ironi dan
keterlaluan kalau bangsa yang begini besar sudah kehilangan nyali dan
jati dirinya. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar